Indonesia
adalah negeri dengan persoalan ketenagakerjaan yang dinamis. Dari aspek legal,
sejak 2004 negeri ini telah menyelesaikan reformasi hukum di bidang ketenagakerjaan
ketika pada tahun itu Undang-Undang No. 2 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial diundangkan. Ini merupakan satu dari tiga peraturan yang
memayungi persoalan ketenagakerjaan di negeri ini. Sebelumnya sudah ada Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Usaha
untuk menciptakan kesempatan kerja guna mengurangi pengangguran dan sekaligus
menampung pertambahan tenaga kerja merupakan bagian kesatuan dari seluruh
kebijakan dan program-program pembangunan. Bahkan seluruh kebijakan dan program
pembangunan ekonomi dan sosial, mempertimbangkan sepenuhnya tujuantujuan perluasan
kesempatan kerja serta kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Para
pemimpin pemerintahan, pekerja dan pengusaha mengadopsi Pakta Lapangan Kerja
Global (Global Jobs Pact/GJP) pada Konferensi Perburuhan Internasional Juni 2009
sebagai sebuah portofolio kebijakan yang telah diujicobakan, yang menempatkan ketenagakerjaan
dan jaminan sosial sebagai pusat dalam upaya merespons krisis. GJP disusun
untuk merespons dampak sosial yang muncul akibat krisis global pada ketenagakerjaan
yang baru-baru ini terjadi dan mengusulkan kebijakan yang bertujuan untuk
menciptakan lapangan kerja, memperluas jaminan sosial, menghargai standarstandar
ketenagakerjaan dan mempromosikan dialog sosial.
Persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia bisa dipelajari berdasarkan kekuasaan politik yang
melatarbelakanginya. Setidaknya ada tiga era waktu yang dapat dipakai untuk meninjau
pengelolaan tenaga kerja di Indonesia. Selain itu, meski terjadi pergantian kekuasaan
politik, secara sederhana persoalan ketenagakerjaan di Indonesia berputar pada
persoalan lapangan kerja formal dan informal. Sebanyak hampir 70 persen penduduk
usia produktif di Indonesia bekerja di ekonomi informal dan lapangan kerja terbesar
berada di sektor pertanian, yakni sekitar 40 persen.
Era
Reformasi
Era
ini dimulai dari gerakan reformasi pada 1998 sebagai reaksi terhadap krisis
ekonomi, kondisi sosial dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang
kompleks, termasuk membengkaknya utang luar negeri, kredit perbankan yang tidak
terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, kolusikorupsi- nepotisme (KKN),
ekonomi biaya tinggi, dan konglomerasi usaha. Selain itu, reformasi juga
didorong semangat deregulasi, privatisasi, liberalisasi ekonomi pasar, makin
tingginya kesadaran akan hak-asasi manusia dan tuntutan demokratisasi. Puncak
gerakan reformasi terjadi pada 21 Mei 1998 dengan berhentinya Presiden
Soeharto, yang berarti berakhirnya era Orde Baru. Wakil Presiden BJ Habibie
yang disumpah sebagai presiden segera membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
dan menyusun agenda reformasi. Sidang Istimewa MPR 1999 kemudian menghasilkan
12 ketetapan yang reformis, termasuk pokok-pokok reformasi pembangunan;
pembersihan dan pembebasan KKN; pengajuan jadwal pemilihan umum; hak asasi
manusia; perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan politik ekonomi dalam
demokrasi ekonomi.
Dari
sisi kondisi ketenagakerjaan ada beberapa hal menarik secara statistik di era ini.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Indonesia pada tahun 2000 adalah 68 persen.
Ini menunjukkan dari setiap 100 penduduk usia kerja, 15 tahun atau lebih, 68 di
antaranya aktif di pasar kerja. Yang menarik adalah membandingkan TPAK tahun 2000
dengan TPAK 1990, justru karena ada perbedaan defi nisi tenaga kerja pada kedua
titik tersebut. Pada 1990, tenaga kerja masih didefi nisikan sebagai penduduk berusia
10 tahun atau lebih, sedangkan pada tahun 2000 didefi nisikan sebagai penduduk
15 tahun atau lebih. Dengan perbedaan ini, TPAK Indonesia ternyata justru mengalami
kenaikan yang sangat tajam selama 1990-2000, yakni dari 55 persen menjadi 68
persen. Kenaikan ini disebabkan lebih karena naiknya partisipasi tenaga kerja
perempuan.
Gerakan
reformasi politik juga telah menstimulasi reformasi serikat pekerja di Indonesia.
Banyak pekerja di Indonesia merasa memperoleh kembali hak-haknya untuk 22 berorganisasi
secara bebas. Jumlah serikat pekerja pun melonjak. Menjelang akhir 2004
terdapat lebih dari 80 federasi serikat pekerja yang didaftarkan di Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, di samping itu masih terdaftar lebih dari 100 serikat pekerja
non-federasi di tingkat nasional.
Akan
tetapi setelah dilakukan verifi kasi keanggotaan serikat pekerja menjelang
akhir 2005, terdapat hanya 35 federasi serikat pekerja yang memenuhi syarat dan
31 serikat pekerja non-federasi di tingkat nasional.
Berikut
adalah sejumlah tonggak dalam sejarah ketenagakerjaan di Indonesia dalam era
ini:
(a).
Pemerintahan BJ. Habibie (1998-1999)
•
Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 yang mengesahkan Konvensi ILO No. 87 Tahun
1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;
•
Meratifi kasi Konvensi ILO No 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
Bekerja yang memberi perlindungan terhadap hak asasi anak dengan membuat
batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui Undang-Undang No. 20 Tahun
1999; dan
•
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia Tahun 1998-2003 yang
salah satunya diwujudkan dengan mengundangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan HAM.
(b).
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
•
Dilihat dari peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan, pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid dinilai memperbaiki iklim demokrasi. Ini juga tercermin di sector
ketenagakerjaan yang di zamannya dikeluarkan Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
(c).
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
•
Peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan sangat fundamental yaitu Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menggantikan sebanyak 15 peraturan
ketenagakerjaan, sehingga undang-undang ini merupakan payung bagi peraturan
lainnya;
•
Undang-undang yang juga sangat mendasar lainnya adalah Undang-Undang No. 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang disahkan
pada 14 Januari 2004 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; dan
•
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. (d).
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)
•
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, yang efektif diberlakukan sejak 14 Januari 2006;
•
Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 185 mengenai
Dokumen Identitas Pelaut Tahun 1958;
•
Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15
Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian;
•
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifi kasi Profesi;
•
Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan;
•
Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Produktivitas Nasional;
•
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Lembaga Kerja Sama Tripartit;
•
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama
Tripartit;
•
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional;
dan
•
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2007 tentang Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan
dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja.
Inti dari berbagai undang-undang dan peraturan yang diundangkan sepanjang masa pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut adalah mempersiapkan kelembagaan, sistem dan tenaga kerja dalam menghadapi pasar kerja yang fl eksibel, terutama dalam era perdagangan bebas.
refrensi : http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_157809.pdf
read more